
Jayapura, Jubi – Sekretaris Jenderal Konferensi Gereja Pasifik, Rev. Francois Pihaatae menyebutkan respon dan sikap diplomat Indonesia, Frans Albert Joku saat konferensi pers di Apia, Samoa dalam pertemuan Forum Kepulauan Pasifik (PIF) sangat tidak masuk akal. Selain disampaikan dengan suara tinggi, sehingga menyebabkan polisi mendatangi tempat konferensi pers, Joku dianggap mengecilkan negara-negara Kepulauan Pasifik.
“Kami sama sekali tidak terkesan dengan sikap diplomat Indonesia. Tidak masuk akal apa yang dilakukan diplomat Indonesui di Apia,” kata Pihaatae kepada Jubi, Kamis (14/9/2017).
Frans Albert Joku Joku dalam konferensi pers tersebut mengkritik ‘campur tangan’ negara-negara Pasifik dalam soal Papua karena menurutnya, negara-negara itu tak memberi bantuan saat dibutuhkan.
“Sangat disesalkan bahwa orang-orang di Kepulauan Pasifik tiba-tiba ingin membahas masalah Papua, sekarang,” kata Joku saat itu.
Menurut Pihaatae, relasi Pasifik dengan Papua bukan baru terjadi. Jauh sebelum Papua dianeksasi oleh Indonesia, Gereja-gereja di Papua sudah punya hubungan dengan Gereja-gereja di Pasifik. Hubungan inilah yang meyakinkan komunitas Gereja Pasifik tentang apa yang terjadi di Papua.
“Apa pun yang orang Indonesia katakan, saya tidak pernah dan tidak akan pernah percaya di West Papua baik-baik saja. Karena kami memiliki bukti-bukti yang muncul setiap hari, pembunuhan orang-orang (West Papua) ini adalah kenyataan,” lanjutnya.
Pihaatae juga menyampaikan keheranannya terhadap diplomat Indonesia yang mempersoalkan aksi demonstrasi warga Samoa yang memberikan dukungan untuk West Papua. Sebab Samoa adalah negara berdaulat dan warganya dijamin bebas dalam menyampaikan pendapat.
Ia kembali menegaskan bahwa anggota-anggota Dewan Gereja Pasifik ingin pemerintah Indonesia mengakhiri apa yang disebutnya sebagai genosida terhadap rakyat Papua.
“Kami serukan agar Indonesia hentikan pembunuhan orang-orang Papua. Itulah prioritas kami paling pertama kepada militer Indonesia atau polisi, atau apapun cara lain yang digunakan (negara) untuk membunuh rakyat di Papua. Dan hal kedua yaitu mengangkat isu West Papua ke daftar dekolonisasi,” kata dia.
Ia berharap rakyat West Papua bisa menikmati kebebasan seperti orang-orang Pasifik Selatan lainnya yang merdeka, bebas.
Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru,Samoa dan Tonga, Tantowi Yahya yang juga hadir dalam konferensi pers tersebut mengatakan Frans Albert Joku agak tersengat sedikit dengan pertanyaan yang diajukan oleh satu wartawan yang bersifat tendensius dan menuduh.
“Situasi cepat reda ketika Frans menjelaskan secara runut sejarah Papua. Kita malah jadi sahabat dengan wartawan itu,” jelas Tantowi.
Media (internasional), menurut Tantowi dimanjakan dengan informasi berita palsu, berita yang dipelintir dan bahkan tipuan dan Indonesia benar-benar tidak mendapatkan kesempatan untuk memberi tahu tentang apa yang terjadi.
Tantowi melanjutkan, Indonesia berusaha semaksimal mungkin untuk mengatasi masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu secara terbuka dan dalam cara yang transparan.
“Siapapun, terutama wartawan, orang-orang LSM, yang benar-benar ingin tahu apa yang terjadi di Papua dan bagian lain dari Indonesia, mereka boleh menghubungi saya sebagai Duta Besar untuk Selandia Baru, Samoa dan Tonga,” katanya, menyampaikan undangan untuk datang ke Papua. (*)